Sabtu, 13 September 2008

Masih Adzan Di Irian ---Fenfen


Oleh Septina Ferniati

Si sulung sedang puasa. Tahun lalu dia tuntas berpuasa sebulan penuh. Hebat juga, padahal badannya yang kurus jadi tambah kurus. Sebenarnya kasian liat dia puasa. Apalagi saat tengah hari, dia sering keliatan pengen buka. Dia merunut-runut mau makan apa aja kalau kelak buka. "Bu, nanti masakin jamur pake tiram, ya. Terus Lalang pengen ager stroberi, kasi jus stroberi asli biar seger. Eh, ato sirop aja kali ya? Entar beli udang atau cumi, dimasak pake bumbu pedes bu, biar sip! Ato ikan? Ah, bingung euy!" Pokoknya heboh sendiri deh, padahal kalau buka, dia cuma sanggup makan sebagian dari yang dia minta. Dia berdalih yang belum dimakan untuk sahur sekeluarga. Sering juga dia bilang, "Kalau Lalang pol puasa entar dikasi apa? Dipersen uang ya? Lalang pengen beli kembang api roket, ato beli baju sendiri lah! Uangnya naek ya taun ini, soalnya kan Lalang udah kelas 3." Seru banget.

Liat anak puasa jadi mengingatkan saya sama diri saya waktu kecil. Pasti saya juga cerewet kayak dia. Pasti saya merasa sangat haus di tengah hari. Pasti saya juga ingin puasa sampe pol, gada batal-batalnya, biar bisa dipersen sama ortu atau sodara-sodara yang lain. Mirip keliatannya, meskipun enggan mengakui bahwa dia mungkin lebih saleh daripada saya.

Bayangkan, dia sangat antusias pergi ke masjid sejak sebulan lalu, buat persiapan menjelang ramadhan katanya. Bahkan sendirian pun dia jabanin! Pokonya ke masjid, baca iqamat, dan salat berjamaah. Ya, setiap hari dia jadi petugas iqamat. Setiap kali mampir ke warung yang dekat masjid, selalu ada ibu-ibu memuji kiprahnya yang baru. "Hebat, salatnya rajin dan bener, gak kayak anak lain. Bacaan iqamatnya juga lancar…" Hmmm, pujian kayak gitu bikin dia langsung sok iye banget biasanya... J

Padahal seminggu lalu kepalanya ditendang saat sedang sujud, sama anak yang lebih kecil dan nakal. Dia juga dikatai (maaf) anjing oleh anak itu. Pulang dari masjid dia nangis, "Bu, kepala Lalang ditendang pas sujud sama Eji, padahal Lalang lagi solat. Yang bikin Lalang sakit hati dia ngatain doggy! Lalang nggak mau solat ke masjid lagi kalau ada Eji!"

Saat itu saya cuma bisa memeluknya, menghiburnya dan cemas kalau-kalau kepalanya kenapa-kenapa. Tapi dia terus memegang dadanya, "Kepala mah gapapa, hati nih yang sakit…" katanya serius.

Saya merasa terharu sekaligus sangat marah sama Eji. Dua hari kemudian Shobar dan Rini main. Sebelum pulang, di teras rumah tiba-tiba muncul Eji. Begitu saja dia menarik topi Rini sampai kepalanya terdongak paksa dan topinya jatuh. Dua kali dia melakukannya, sebelum saya pelototi dengan galak. Tapi dia balas melotot lalu menginjak kaki Rini. Saya usir dia, badannya saya dorong ke luar dari teras. Saya mengelus dada, karena dia tetap memaksa masuk.

Saya baru bisa ngobrol santai dengan ibu, nenek, dan buyutnya di rumah keluarga besar mereka baru kemarin ini. Eji memang nakal, kata mereka. Di rumah pun dia biasa menduduki kepala adik bayinya. Juga menduduki perut pamannya yang sama-sama masih bayi seperti adiknya. Eji yang berusia tiga tahun punya paman (anak neneknya) yang usianya baru sebelas bulan. Ibunya Eji kakak bayi sebelas bulan itu. Sedangkan Eji sendiri baru punya adik yang usianya di bawah satu bulan. Buyutnya Eji seusia ibu saya. Di rumah buyutnya dia hidup bareng dengan ibu, nenek, kakek, paman, dan lain sebagainya. Mungkin dia kurang ruang, mungkin kurang perhatian, mungkin, kalau kata suami, makanannya salah, makanya dia kasar begitu.

Keluarga Eji minta maaf dengan sungguh-sungguh. Meskipun saya kaget juga, di sela-sela kedatangan saya, berkali-kali dia mengatai dan menghantam orang yang ada di dekatnya, tanpa sebab. Dan buyut, nenek, ibunya hanya bilang, "Jangan! Awas, dikasi cengek nanti mulut ama tangannya!" Saya merasa sedikit bingung kenapa dia begitu, padahal usianya masih 3 tahun, usia saat kebanyakan anak masih bisa lihat malaikat. Tapi pasti saya gak tahu apa-apa.

Kembali ke Ilalang. Saya hampir jarang dibuat susah sama dia untuk urusan salat dan puasa. Dia rela melakukannya meskipun gak saya kasi uang banyak-banyak. Saya liat dia kuat, bikin terharu. Padahal karena badannya kecil, saya pernah khawatir dia sakit dan minta dia puasa sehari buka sehari. Jadi total puasanya 15 hari saja. Dia malah marah, "Kan puasa itu wajib, bu? Lalang udah 8 taun, kata ibu udah boleh dipukul kalo nggak solat. Berarti harus puasa juga kan?" katanya nggak nyambung. Saya jelaskan bahwa dia bisa puasa semampunya. Tapi dia keukeuh, "Lalang pengen kayak ayah, kayak ibu, juga biar bisa dapet persen gede dari nenek. Lagian puasa kan bikin sehat. Gimana coba kalo Lalang segede Indra?" katanya tentang temannya semasa TK yang beratnya sudah 34 kg.

Ya sudah, saya dan suami putuskan dia boleh lakukan puasa semampunya. Kalau dia merasa sangat haus atau sangat lapar, kami sarankan dia berbuka. Tetapi Ilalang sanggup menahan lapar dan haus, apalagi saat lebaran dia bisa berbangga hati bilang ke hampir setiap orang yang dia temui, bahwa dia pol puasa dan pantas diberi persen besar oleh mereka.

Kemarin di hari pertama puasa, dia banyak marah dan nangis, juga tidur. Pemicunya sederhana, dia minta ayahnya yang sedang sibuk, meng-install game ke komputer yang biasa dia pakai main. Ayahnya menolak. Apalagi saya, yang ingin memberinya "ganjaran" setelah tiga hari lalu dia main game di rumah temannya sejak siang hingga sore, tanpa ingat pulang sampai-sampai ayahnya harus jemput.

Kami sadar dia hidup di jaman game sedang heboh-hebohnya, makanya nggak apa dia main, asal tau waktu. Saya sudah canangkan sejam khusus untuk nge-game, itu pun hanya seminggu tiga kali. Tapi dia sering kebablasan, keenakan. Jadi malah lupa segala, bahkan lupa makan dan salat ke masjid yang biasanya ngotot dia lakoni. Lagipula matanya sering gatal setelah nge-game. Kebayang kan sakitnya itu mata, gak kedip-kedip natap layar komputer atau tivi, fokus pada permainan dunia maya berjam-jam lamanya.

Tadi subuh dia semangat minum dan makan segala yang ada. Dia bilang gak mau marah, nangis, dan banyak tidur lagi seperti di hari pertama. "Capek jadinya," katanya polos. Saya kasi dia tomat, lalu jeruk medan dan sedikit jus sayuran yang dia benci. Makannya banyak, apalagi minumnya.

Saat imsak, dia sibuk nanya "Ini kan tanda udah mau adzan ya? Jadi masih boleh minum kan?" Kami serentak jawab, "Ya, boleh, boleh, situ minum banyak2, biar sampe siang tetep kuat."

Ternyata dia minum dan minum terus, bahkan sampai adzan terdengar pun dia masih tetap minum. "Masih adzan kan?" Masalahnya waktu adzan di tempat kami yang ber-gang kan beda-beda. Setiap masih terdengar adzan di kejauhan, dia minum lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya berhenti setelah adzan sama sekali tak terdengar lagi. Tapi kemudian, dari kejauhan terdengar sayup-sayup adzan mendekati akhir, dia teriak, "Tuh, masih ada yang adzan, minum lagi ah!" Dia tak mau tahu protes orang tuanya. Akhirnya ayahnya bilang, "Ya, adzan emang masih kedengaran di Irian, silakan minum lagi…" Kami terbahak bersama.

Saya jadi ingat kelakuan paman saya yang pernah jadi seorang Yahudi dan Kristen. Setiap ramadhan tiba, kami pasti berselisih paham soal waktu berhenti makan sahur. Menurut paman, dia bisa makan minum sampai matahari terbit. Kebayang kan, standar hukumnya nggak jelas2 amat, tapi beliau nekat melakukan "waham" yang dia yakini benar. Ketika saya pertanyakan fungsi imsak sebelum adzan subuh, beliau malah nge-les, "Setiap orang boleh dan bisa menjalankan yang dia yakini…"

Jadi begitulah, semoga kalau Ilalang sedang baik suasana hatinya, dia mau baca tulisan ibunya ini, dan mau belajar memahami beberapa hal mendasar, semisal waktu yang tepat untuk berhenti makan sahur. Sudah mau berpuasa dan bangun sahur pun sebenarnya sudah sangat menggembirakan hati kami. J

Tidak ada komentar: