Jumat, 20 Juni 2008

MUNCULNYA SINISME POLITIK


Oleh Aminuddin Siregar

Aalah satu ciri kehidupan politik kita hari-hari kemarin ialah munculnya sinisme politik di mana-mana. Tidak saja secara nasional, tetapi juga secara lokal. Nampaknya, sinisme politik ini muncul dihampir semua konteks kehidupan kita. Sehingga orang amat mudah membikin apapun saja yang bisa menimbulkan sinisme politik. Akibatnya, rawan terhadap penjungkirbalikan fakta politik, untuk kepentingan tertentu segelintir orang.
Semboyan, politik yes, pembangunan no, agaknya mejadi amat laris dan cenderung menjadi komoditas politik yang lagi trend. Tetapi disaat yang bersamaan justru terjadi distorsi politik yang maha dahsyat, lantaran semua persoalan yang muncul melulu dilihat dari sisi politiknya, dan direspon secara politis pula. Melihat dan merespon secara politis itu memang tidak salah, boleh-boleh saja dan sah-sah saja adanya.
Namun dibalik semua itu diperlukan pertimbangan dan kesadaran bersama menuju tertib politik melalui dialog yang kondusif. Melalui tertib politik dan dialog yang kondusif inilah kemudian diharapkan tidak terjadi pembusukan politik. Sebab bila ini yang terjadi kita akan menghadapi kesemrautan yang semakin rumit dan amat sangat ruwet. Bukan saja membikin kocar-kacir anak-anak bangsa, tetapi juga membuat kegelisahan yang berkepanjangan. Termasuk ancaman terhadap rasa aman, baik secara individual maupun kelompok yang ada dalam masyarrakat
Kemungkinan terburuk bisa saja muncul setiap saat, misalnya disintegrasi bangsa, dan akan banyak menimbulkan disfungsi dalam masyarakat, bila tidak dikatakan disintegrtasi masyarakat. Ini tentu sangat berbahaya, dan saya kira, kita-kita semua, tidak menghenmdaki hal sedemikian itu terjadi, apabila kita konsern terhadap kesatuan dan persatuan bangsa dalam suatu kesatuan yang bernama wilayah Republik Indonesia.
Meluasnya sinisme politik patut menjadi perhatian semua kita-kita ini siapa pun saja. Itu artinya perlu dan penting bagi kita untuk mencari jalan keluar dan solusi terhadap beban politik yang menimpa pundak seluruh rakyat Indonesia ini. Bila sinisme politik terus bergulir dan digelindingkan, tak kunjung berkesudahan, tidak menampakkan tanda-tanda yang meringankan beban politik, yang sudah sedemikian berat itu. Tentu suasana kehidupan sehari-hari akan semakin kompleks.
Celakanya, arah menuju berakhirnya konflik dan budaya politik kekerasan yang hinga hari-hari belakangan ini, juga masih nampak. Jelas akan menimbulkan kesenjangan pula. Bukan saja kesenjangan politik tetapi juga kesenjangan terhadap hampir semua konteks kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Ini semua membuat suasana tak lagi nyaman dan membikin gundah banyak orang.
Di tengah ketidak nyamanan itu, memang muncul berbagai pesan-pesan etis dan himbauan-himbauan moral, yang memang bisa menyejukkan hati dan perasaan setiap orang. Namun, tidak jarang pula muncul berbagai macam ungkapan, estimasi, termasuk guyon politik yang bisa membikin kita terpingkel dan terbahak-bahak, dan sebaliknya pula bisa dengan olok-olok yang membikin runyam ,terkadang tidak lagi sehat teapi sudah bernada ejekan politik sangat tajam. Inilah antara lain yang menyebabkan mengapa sinisme politik muncul.
Persoalannya, apa yang dapat kita lakukan bersama-sama dengan elit politik kita, dan para wakil rakyat, agar sinisme politik tidak meluas, dan tidak menimbulkan persoalan lebih dahsyat, apabila tertib politik dan dialog yang kondusif tidak kita temukan ? Bahwa sinisme politik yang masih saja bersemayam dihati setiap kelompok, setiap unsur dan elemen bangsa, maka setiap itu pula kita tidak akan bisa lagi menciptakan dialog yang kondusif, persambungan kultural dan silaturrahmi yang manusiawi.
Iklim Politik
Sementara, iklim politik hari-hari kemarin itu, kini sedikit mangalami penurunan suhu. Situasi politik yang terus memanas, agaknya sedikit telah dapat dikondensir dan kita tetap berharap agar kecenderungan yang mengarah pada distorsi politik tidak berkepanjangan. Sebab distorsi politik bisa menghambat reformasa, bisa mengganjal roda pemerintahan, bahkan bisa mengacaukan visi politik Indonesia Baru. Termasuk mengaburkan makna masyarakat sipil yang hendak dibangun.
Kecenderungan arah politik yang kurang kondusif, misalnya bisa kita amati terhadap hampir semua soal yang terjadi di seluruh penjuru kolomg langit. Semuanya bisa dipolitisir oleh siapa pun saja yang suka atau tidak suka terhadap lawan dan kawan politiknya. Bahkan sekarang-sekarang ini masih saja terjadi pertarungan politik, yang walupun nampak juga beberapa hal memberi gambaran yang sangat mungkin untuk melakukan rekonsiliasi antar elit politik, tetapi masih jauh dari pulih.
Akan tetapi hal semacam itu mesti disertai dengan kesediaan dan dengan niat yang tulus untuk melakukan kompromi politik demi kepentingan bangsa dan pemulihan kembali stabulitas negara. Kemudian saling berlapang dada menerima, apa pun yang dihasilkan dalam kompromi politik itu. Hingga tahapan-tahapan reformasi yang akan dilaksanakan berjalan sesuai dengan yang diagendakan. Selain itu, upaya keras menahan diri tetap diperlukan sehingga tidak ada lagi kekhawatirkan politik yang menjadi ancaman bentrok lebih dahsyat di tengah kehidupan masyarakat.
Bila semua kalangan, dan lapisan masyarakat, atau semua unsur dan elemen bangsa sepakat dengan kompromi dan menyikapi hasil kompromi politik dengan santun dan lugas. Maka besar kemungkinan perseteruan bisa dikurangi dan bisa pula diredam, kemungkinan meluasnya sinisme politik baik terhadap pemerintah maupun terhadap wakil rakyat. Sebab bila kita tidak bisa menyikapi secara lugas dan santun terhadap apa yang dihasilkan oleh kompromi politik itu, maka bukan saja akan melukai persaan kolektif sekelompok orang, sebagian orang, melainkan juga akan melukai seluruh perasaan kolektof kita sebagai suatu bangsa.
Nampaknya, untuk sampai kesikap politik seperti itu, maka kita perlu secara bersama mendinginkan suasana politik dan mengkondensir iklim politik yang tidak menguntungkan bagi kehidupan masyarakat dalam pergulatan mereka sehri-hari. Perlu menciptakan rasa damai, bukan saja diantara para elit politik tetapi juga disemua lapisan masyarakat.
Dengan demikian, kita mesti membenahi semua kekurangan, kejanggalan, keruwetan dan kerumitan yang kita hadapi saat ini. Apakah itu kerumitan politik, kerumitan penegakan hukum, kerumitan pemulihan ekonomi, kerumitan roda pemerintahan, termasuk otonomi daerah, kerumitan keseharian yang dihadapi oleh seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.
Sebab kalau para elit politik terus saling menghujani tudingan. Maka tidak tertutup kemungkinan justru akan merembes ke level bawah. Apalagi kalau tudingan itu tidak mengarah kepada pencarian solusi dan jalan keluar dari kebuntuan politik, seperti yang kini kita rasakan, justru kian memperparah persoalan. Dampaknya terhadap kehidupan kita sehari-hari, ialah sulitnya menyelesaikan secara tuntas segala persoalan yang membelit bangsa ini.
Membelit
Disadari atau tidak, dipahami atau cuma sekadar dimengerti, kondisi kebanyakan anggota masyarakat memang sedang mengalami belitan politik. Nampak bahwa yang membelit bangsa ini diawali dengan perseteruan politik antar elit politik. Anehnya, perseteruan itu terus berlanjut tanpa menghiraukan akibat-akibatnya bagi etika politik-sosial masyarakat.
Itu sebabnya, mengapa orang cenderung menyebut bahwa perseteruan elit politik yang terjadi dinegri ini terkesan mengabaikan etika politik-sosial masyarakat. Pengabaian terhadap etika politik ini pulalah, agaknya kembali perlu untuk memahami integrasi masyarakat, menjaga kesegaran dalam pergaulan dan persambungan kultural sehari-hari. Sehingga tidak menimbulkan sisnisme politik.
Kalau kita kebetulan berkesempatan kongkow-kongkow, misalnya, di level paling bawah. Apakah itu dikedai-kedai kopi, diwarung-warung pojok ditempat-tempat liannya yang lazim kita bisa jumpai komunitas politik paling awam sekalipun. Atau bahkan dimana pun saja kita bisa bertatap muka dengan mereka. Kemudian, secara sengaja atau tidak, kita terlibat mengamati reaksi-reaksi mereka, rumusan politik mereka dan spekulasi politik mereka, umumnya, mengingatkan perlunya perhatian serius terhadap integritas bangsa.
Persoalan yang membelit bangsa ini dan yang membikin semakin terpuruk antara lain adalah akibat dari munculnya sinisme politik berkepanjangan, yang menimbulkan berbagai macam krisis dan bentuknya. Apakah itu di level elit politik atau bukan, di tingkat bawah atau tidak, krisis itu kian melebar-lebar, dan yang mengalaminya pun kian bertambah terus dari hari-kehari.
Meski demikian corak dan warna yang begitu beragam, telah membikin kian semarak, yang sekaligus memperkaya khazanah kepolitikan itu sendiri. Di mana orang sangat bebas dan jauh dari belenggu tirani kekuasaan. Di masa kini, orang dengan bebas mengkritik dan bicara mengeluarkan pendapat apa pun saja. Termasuk memaknai demokrasi itu sendiri secara berbeda-beda. Perbedaan warna inilah yang membikin wajah perpolitikan kita kian nampak semakin dinamis.
Namun di balik dinamisasi kehidupan politik itu, justru sinisme poltik menjadi ancaman serius. Maka itu, siapa pun saja kita-kita ini perlu secara bersama menjaga kesegaran pikiran dan kejernihan hati, ketika melihat dan mendengar segelintir elit politik terkemuka, sekaligus adalah para pemimpin politik, --yang sebenarnya jadi panutan bagi kita-- berseteru dan hampir-hampir saling mengutuk itu, tetap kita sikapi dalam koridor demokrasi kritik yang membangun.
Akhirnya, apapun saja upaya untuk merekonstruksikan kembali situasi perpolitikan kita, tentu saja saya tidak punya kepentingan analisis politik apapun. Namun yang sangat kita butuhkan sekarang ini ialah membangkitkan optimisme pemerintah dan stabilitas negara, sekaligus menjaga integritas dan keselamatan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Dengan begitu, sinisme politik tidak perlu bersemayam dihati siapa pun saja kita-kita ini, apalagi di hati para elit politik, baik nasional mapun lokal, termasuk para pelaku politik itu sendiri. Semoga saja.
Harian Analisa
Penulis adalah Staf Pengajar Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi