Sabtu, 13 September 2008

Masih Adzan Di Irian ---Fenfen


Oleh Septina Ferniati

Si sulung sedang puasa. Tahun lalu dia tuntas berpuasa sebulan penuh. Hebat juga, padahal badannya yang kurus jadi tambah kurus. Sebenarnya kasian liat dia puasa. Apalagi saat tengah hari, dia sering keliatan pengen buka. Dia merunut-runut mau makan apa aja kalau kelak buka. "Bu, nanti masakin jamur pake tiram, ya. Terus Lalang pengen ager stroberi, kasi jus stroberi asli biar seger. Eh, ato sirop aja kali ya? Entar beli udang atau cumi, dimasak pake bumbu pedes bu, biar sip! Ato ikan? Ah, bingung euy!" Pokoknya heboh sendiri deh, padahal kalau buka, dia cuma sanggup makan sebagian dari yang dia minta. Dia berdalih yang belum dimakan untuk sahur sekeluarga. Sering juga dia bilang, "Kalau Lalang pol puasa entar dikasi apa? Dipersen uang ya? Lalang pengen beli kembang api roket, ato beli baju sendiri lah! Uangnya naek ya taun ini, soalnya kan Lalang udah kelas 3." Seru banget.

Liat anak puasa jadi mengingatkan saya sama diri saya waktu kecil. Pasti saya juga cerewet kayak dia. Pasti saya merasa sangat haus di tengah hari. Pasti saya juga ingin puasa sampe pol, gada batal-batalnya, biar bisa dipersen sama ortu atau sodara-sodara yang lain. Mirip keliatannya, meskipun enggan mengakui bahwa dia mungkin lebih saleh daripada saya.

Bayangkan, dia sangat antusias pergi ke masjid sejak sebulan lalu, buat persiapan menjelang ramadhan katanya. Bahkan sendirian pun dia jabanin! Pokonya ke masjid, baca iqamat, dan salat berjamaah. Ya, setiap hari dia jadi petugas iqamat. Setiap kali mampir ke warung yang dekat masjid, selalu ada ibu-ibu memuji kiprahnya yang baru. "Hebat, salatnya rajin dan bener, gak kayak anak lain. Bacaan iqamatnya juga lancar…" Hmmm, pujian kayak gitu bikin dia langsung sok iye banget biasanya... J

Padahal seminggu lalu kepalanya ditendang saat sedang sujud, sama anak yang lebih kecil dan nakal. Dia juga dikatai (maaf) anjing oleh anak itu. Pulang dari masjid dia nangis, "Bu, kepala Lalang ditendang pas sujud sama Eji, padahal Lalang lagi solat. Yang bikin Lalang sakit hati dia ngatain doggy! Lalang nggak mau solat ke masjid lagi kalau ada Eji!"

Saat itu saya cuma bisa memeluknya, menghiburnya dan cemas kalau-kalau kepalanya kenapa-kenapa. Tapi dia terus memegang dadanya, "Kepala mah gapapa, hati nih yang sakit…" katanya serius.

Saya merasa terharu sekaligus sangat marah sama Eji. Dua hari kemudian Shobar dan Rini main. Sebelum pulang, di teras rumah tiba-tiba muncul Eji. Begitu saja dia menarik topi Rini sampai kepalanya terdongak paksa dan topinya jatuh. Dua kali dia melakukannya, sebelum saya pelototi dengan galak. Tapi dia balas melotot lalu menginjak kaki Rini. Saya usir dia, badannya saya dorong ke luar dari teras. Saya mengelus dada, karena dia tetap memaksa masuk.

Saya baru bisa ngobrol santai dengan ibu, nenek, dan buyutnya di rumah keluarga besar mereka baru kemarin ini. Eji memang nakal, kata mereka. Di rumah pun dia biasa menduduki kepala adik bayinya. Juga menduduki perut pamannya yang sama-sama masih bayi seperti adiknya. Eji yang berusia tiga tahun punya paman (anak neneknya) yang usianya baru sebelas bulan. Ibunya Eji kakak bayi sebelas bulan itu. Sedangkan Eji sendiri baru punya adik yang usianya di bawah satu bulan. Buyutnya Eji seusia ibu saya. Di rumah buyutnya dia hidup bareng dengan ibu, nenek, kakek, paman, dan lain sebagainya. Mungkin dia kurang ruang, mungkin kurang perhatian, mungkin, kalau kata suami, makanannya salah, makanya dia kasar begitu.

Keluarga Eji minta maaf dengan sungguh-sungguh. Meskipun saya kaget juga, di sela-sela kedatangan saya, berkali-kali dia mengatai dan menghantam orang yang ada di dekatnya, tanpa sebab. Dan buyut, nenek, ibunya hanya bilang, "Jangan! Awas, dikasi cengek nanti mulut ama tangannya!" Saya merasa sedikit bingung kenapa dia begitu, padahal usianya masih 3 tahun, usia saat kebanyakan anak masih bisa lihat malaikat. Tapi pasti saya gak tahu apa-apa.

Kembali ke Ilalang. Saya hampir jarang dibuat susah sama dia untuk urusan salat dan puasa. Dia rela melakukannya meskipun gak saya kasi uang banyak-banyak. Saya liat dia kuat, bikin terharu. Padahal karena badannya kecil, saya pernah khawatir dia sakit dan minta dia puasa sehari buka sehari. Jadi total puasanya 15 hari saja. Dia malah marah, "Kan puasa itu wajib, bu? Lalang udah 8 taun, kata ibu udah boleh dipukul kalo nggak solat. Berarti harus puasa juga kan?" katanya nggak nyambung. Saya jelaskan bahwa dia bisa puasa semampunya. Tapi dia keukeuh, "Lalang pengen kayak ayah, kayak ibu, juga biar bisa dapet persen gede dari nenek. Lagian puasa kan bikin sehat. Gimana coba kalo Lalang segede Indra?" katanya tentang temannya semasa TK yang beratnya sudah 34 kg.

Ya sudah, saya dan suami putuskan dia boleh lakukan puasa semampunya. Kalau dia merasa sangat haus atau sangat lapar, kami sarankan dia berbuka. Tetapi Ilalang sanggup menahan lapar dan haus, apalagi saat lebaran dia bisa berbangga hati bilang ke hampir setiap orang yang dia temui, bahwa dia pol puasa dan pantas diberi persen besar oleh mereka.

Kemarin di hari pertama puasa, dia banyak marah dan nangis, juga tidur. Pemicunya sederhana, dia minta ayahnya yang sedang sibuk, meng-install game ke komputer yang biasa dia pakai main. Ayahnya menolak. Apalagi saya, yang ingin memberinya "ganjaran" setelah tiga hari lalu dia main game di rumah temannya sejak siang hingga sore, tanpa ingat pulang sampai-sampai ayahnya harus jemput.

Kami sadar dia hidup di jaman game sedang heboh-hebohnya, makanya nggak apa dia main, asal tau waktu. Saya sudah canangkan sejam khusus untuk nge-game, itu pun hanya seminggu tiga kali. Tapi dia sering kebablasan, keenakan. Jadi malah lupa segala, bahkan lupa makan dan salat ke masjid yang biasanya ngotot dia lakoni. Lagipula matanya sering gatal setelah nge-game. Kebayang kan sakitnya itu mata, gak kedip-kedip natap layar komputer atau tivi, fokus pada permainan dunia maya berjam-jam lamanya.

Tadi subuh dia semangat minum dan makan segala yang ada. Dia bilang gak mau marah, nangis, dan banyak tidur lagi seperti di hari pertama. "Capek jadinya," katanya polos. Saya kasi dia tomat, lalu jeruk medan dan sedikit jus sayuran yang dia benci. Makannya banyak, apalagi minumnya.

Saat imsak, dia sibuk nanya "Ini kan tanda udah mau adzan ya? Jadi masih boleh minum kan?" Kami serentak jawab, "Ya, boleh, boleh, situ minum banyak2, biar sampe siang tetep kuat."

Ternyata dia minum dan minum terus, bahkan sampai adzan terdengar pun dia masih tetap minum. "Masih adzan kan?" Masalahnya waktu adzan di tempat kami yang ber-gang kan beda-beda. Setiap masih terdengar adzan di kejauhan, dia minum lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya berhenti setelah adzan sama sekali tak terdengar lagi. Tapi kemudian, dari kejauhan terdengar sayup-sayup adzan mendekati akhir, dia teriak, "Tuh, masih ada yang adzan, minum lagi ah!" Dia tak mau tahu protes orang tuanya. Akhirnya ayahnya bilang, "Ya, adzan emang masih kedengaran di Irian, silakan minum lagi…" Kami terbahak bersama.

Saya jadi ingat kelakuan paman saya yang pernah jadi seorang Yahudi dan Kristen. Setiap ramadhan tiba, kami pasti berselisih paham soal waktu berhenti makan sahur. Menurut paman, dia bisa makan minum sampai matahari terbit. Kebayang kan, standar hukumnya nggak jelas2 amat, tapi beliau nekat melakukan "waham" yang dia yakini benar. Ketika saya pertanyakan fungsi imsak sebelum adzan subuh, beliau malah nge-les, "Setiap orang boleh dan bisa menjalankan yang dia yakini…"

Jadi begitulah, semoga kalau Ilalang sedang baik suasana hatinya, dia mau baca tulisan ibunya ini, dan mau belajar memahami beberapa hal mendasar, semisal waktu yang tepat untuk berhenti makan sahur. Sudah mau berpuasa dan bangun sahur pun sebenarnya sudah sangat menggembirakan hati kami. J

Ayo Nikmati Efek Dahsyat Membaca !!!


Oleh Agga Van Danoe via e-mail 12 September 2008

Setelah melakukan shalat dhuhur ke 9 di bulan Ramadhan 1429 H, Hernowo didapuk untuk menyampaikan materi ter”anyar”nya yaitu “Menulislah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit”. Buku ke 33 yang ditulisnya ini merupakan serangkaian buku tentang menulis lainnya yang sudah dituliskannya dalam usianya yang sudah memasuki kepala 4 ini.

Meskipun di Bulan Ramadhan, namun saya merasa menjadi salah satu orang yang paling beruntung untuk menyaksikan dan melihat semangatnya yang menggebu-gebu dalam menyampaikan materi yang ia tulis tersebut. Bahkan, sampai sekarang Hernowo Tak pernah berhenti dalam memberikan wawasan kepada setiap orang yang dijumpainya dalam setiap training atau ceramahnya. Ya, materi yang disampaikannya sebagian besar adalah tentang membaca dan menulis.

Dalam pemaparannya Hernowo mengungkapkan tentang pentingnya membaca. Kenapa Penting? Karena banyak orang yang menganggap bahwa kegiatan membaca itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak luar biasa, dahsyatnya membaca ini menurutnya jarang disentuh -terutama untuk orang-orang yang awam. Padahal wahyu pertama yang turun dari Allah kepada Rasulullah Saw adalah surat Al-'Alaq, yaitu Iqra.... (Bacalah).

Kalo saja kita sering meluangkan waktu, banyak hal yang dapat dimanfaatkan dengan membaca. Karena banyak sekali buku yang dengan jenis fiksi dan non fiksi (novel, biografi, sains fiction, psikologi, filsafat dll), yang memberikan dan menawarkan sesuatu yang baru. Begitu juga bagi Mas Hernowo. Dalam bukunya ini, beliau banyak menuliskan buku-buku dan para penulis yang mempengaruhinya. Ada Quantum Learning, Laskar Pelangi dgn Andrea Hirata, Harry Potter dgn JK Rowling, Dr. Howard Garrdner dengan teori Multiple Intelliegences, Rhenald Kasali, R.T. Kiyosaki, Stephen R. Covey dll. Ia merasa seperti diajak mengembara ke tempat-tempat yang jauh, dan memiliki banyak sekali kehidupan.

Menurut Edward Coffey -yang saya kutip dari buku membacalah Agar dirimu Mulia-
Kegiatan membaca yang dpt diselenggarakan secara kontinyu dan konsisten dapat menciptakan lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti-rugi perubahan otak. Oleh karenanya proses membaca itu dapat menggantikan sel-sel yang mati di dalam otak kita karena tidak pernah dipergunakan, untuk kemudian menjadi sel baru yang lebih hidup.

Ketika Mas Hernowo memberitahukan tentang minat baca di Indonesia yang masih nol persen, salah seorang Audience di Mesjid Bio Farma merasa getir. Ia yang pernah merasakan hidup di Negeri Sakura, terkagum-kagum melihat semangat membaca masyarakat Jepang. Karena setiap hari, setiap saat, setiap orang yang ditemuinya, benar-benar tidak dapat dilepaskan dari buku. Dari mulai anak-anak sampai dengan orang dewasa. Dari mulai mengantri untuk mendapatkan kereta, menunggu panggilan di tempat praktek dokter, sampai dengan menunggu tibanya kereta di tujuan. Setiap orang terlihat bersemangat dalam membaca.

Budaya baca di Indonesia makin tergerus oleh media-media elektronik yang terus menerus menggempur kita. Bahkan dengan terus berkembangnya arus informasi serta teknologi, maka kebanyakan kita belum siap untuk mengantisipasinya. Seperti teknologi televisi misalnya, para pemilik stasiun televisi berlomba-lomba untuk mendapatkan jatah kue iklan untuk masing-masing stasiun tv-nya. Bahkan seringkali, banyak program tayangan mereka yang tidak mendidik. Kita-lah (para orangtua, para pendidik dan yang lainnya) yang harus memiliki filter agar mengalihkan kenikmatan menonton dengan kenikmatan membaca. Karena membaca -menurut mas Hernowo - adalah sebuah keterampilan sebagaimana memasak atau juga menyetir mobil. Dengan membiasakan membaca setiap hari selama 10-15 menit, tentunya kemampuan membaca kita akan terus meningkat.

Akhirnya setiap diri kita dituntut untuk dapat merasakan efek dahsyat dari membaca ini. Dan di dalam buku Membacalah Agar Dirimu Mulia ini, Hernowo memberikan semua informasi yang kita butuhkan tentang membaca. Bahkan saya sendiri merasa sedang kembali di charge untuk mengembalikan kenikmatan-kenikmatan itu agar kembali bersarang di dalam jiwa saya, sehingga dipenuhi oleh gairah-gairah membara.

Rayakanlah Kegiatan Membaca Anda. Berbanggalah Bahwa Diri Anda. Telah Menjalankan Kegiatan Yang Mulia. Teruslah Membaca._Hernowo. Salam, Agga Van Danoe

Jumat, 12 September 2008

Cara Mencapai Puncak Tujuan Membaca

TIMBANGAN BUKU
Sumber : Harian Kompas Minggu 2007
Oleh ONI SURYAMAN
Membaca adalah symbol sebuah peradaban. Ia membedakan peradaban maju dengan primitive, antara Negara maju dan Negara berkembang. Melihat begitu pentingnya membaca, ia pun dijadikan salah satu indeks bagi pembangunan manusia, yang sering dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan sebuah Negara.

Membaca memiliki tiga fungsi. Pertama, memberikan informasi, misalnya dengan membaca Koran dan majalah. Yang kedua, memberikan hiburan, misalnya dengan membaca novel. Yang ketiga, yang paling penting tetapi sekaligus paling sulit, memberikan pengertian. Sebuah buku bisa saja memberikan pengertian sekaligus menghibur dan memberikan informasi.

Modernisasi telah menawarkan substitusi bagi kegiatan membaca, dengan lahirnya media audio-visual. Kehadiran audio-visual membuat informasi menjadi lebih “nyata” ketimbang membaca, tetapi di lain pihak mengurangi bahkan meniadakan daya cerna pemirsa. Sesuatu yang mutlak dibutuhkan dalam membaca untuk mencari pengertian.

Dalam keadaan seperti inilah buku ini hadir, mengingatkan kita akan pentingnya membaca untuk mencari pengertian dan mengajari kita bagaimana melakukannya. Membaca seperti inilah yang menjadi tonggak peradaban.

Pendidikan seumur hidup
Membaca mendapatkan pengertian adalah pendidikan seumur hidup secara intelektual. Sekolah semestinya mengajarkan hal ini secara berjenjang. Dengan demikian, setelah lulus dari sekolah lanjutan, seseorang sudah bisa menikmati dan memahami hamper semua bacaan, dan menjadi pembelajar seumur hidup.

Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Banyak mahasiswa yang masih kesulitan membaca di level ini, bahkan sarjana pun masih banyak yang kedodoran. Akibatnya mereka berhenti belajar, begitu selesai dari sekolah

Manfaat sesungguhnya dari membaca pun disia-siakan, menjadi sekadar untuk membaca buku teks, Koran, bukan untuk membaca buku. Ini terbukti dari angka penjualan buku non-fiksi, khususnya sains, baik ilmu alam maupun ilmu social, yang masih rendah. Hal ini tidak berimbang dengan oplah surat kabar, majalah, dan buku fiksi yang jauh lebih tinggi. Inilah bukti bahwa orang baru bisa menikmati bacaan untuk informasi dan hiburan, belum untuk menemukan pengertian.

Tahapan Membaca
Buku ini menjelaskan cara meningkatkan kemampuan membaca secara berjenjang: membaca dasar, inspeksional, analitis, dan sintopikal (tematis), dan juga sejumlah tes sesuai jenjang itu. Tahapan-tahapan ini harus dijalani secara beruntun karena tidak mungkin untuk maju ke tahap berikut tanpa menguasai tahapan sebelumnya.

Tingkat yang pertama adalah membaca dasar, yang semua kita sudah kuasai, yaitu mengeja, membaca kata dan kalimat menerjemahkan symbol menjadi sebuah bunyi yang bermakna. Membaca tingkat ini semestinya dikuasai seseorang sesudah menamatkan sekolah dasar. Ini ditandai dengan kemampuan membaca yang lancer tanpa patah-patah, dan kemampuan membaca di dalam hati (silint reading).

Bagian berikutnya adalah membaca inspeksional. Sekilas membaca inspeksional dapat disamakan dengan membaca cepat. Namun, bukan itu yang dimaksud buku ini. Membaca inspeksional adalah membaca sekilas, atau selayang pandang, secara sistematis sambil mengajukan pertanyaan kepada teks yang kit abaca dan berusaha menjawabnya selagi kita membaca.

Ada dua manfaat yang bisa didapat dari membaca sekilas ini. Yang pertama, untuk menentukan apakah buku itu layak atau tidak untuk kit abaca secara lebih mendalam. Dalam contoh praktisnya adalah untuk menentukan apakah buku itu layak kita beli atau pinjam. Yang kedua adalah mendapatkan ide dasar dari buku tersebut, tanpa harus mendalami detailnya. Ini sangat membantu jika nantinya kita mau mendalami buku ini lebih lanjut, atau kalau kita sekadar ingin tahu garis besar buku tersebut.

Dalam level ini juga kita belajar bagaimana membuat catatan kaki, coretan-coretan, yang nantinya akan membantu kalau ingin membaca buku tersebut secara lebih mendalam. Beberapa tips menarik diberikan untuk membantu memilih bahan bacaan yang baik.

Orang sering terjebak pada level ini, yaitu membaca cepat, karena menganggap inilah level pencapaian tertinggi dalam membaca. Adler menunjukkan bahwa membaca buku seharusnya dengan kecepatan yang sesuai. Buku atau bagian bacaan yang seharusnya dibaca dengan cepat jika kit abaca dengan perlahan akan menghabiskan waktu dengan percuma.

Berikutnya adalah membaca analitis. Inilah membaca dalam arti sesungguhnya. Dalam tahap ini kita “mengunyah dan mencerna” bacaan, menjadikannya bagian dari diri kita. Keterampilan tahap ini seharusnya dimiliki para lulusan SMA dan atau S1. Ia bisa menyarikan, memaparkan kembali, maupun mengkritik sebuah bacaan.

Teknik membaca analitis menduduki porsi terbanyak di dalam buku ini karena pada tahapan inilah membaca menjadi aktivitas yang komprehensif, melibatkan semua upaya pikiran, dalam mendalamibacaan. Memang, membaca pada level ini akan melelahkan, tetapi hasil yang diperoleh sungguh sebanding dengan upaya yang dicurahkan.

Dan terkahir adalah membaca sintopikal, membaca beberapa buku dalam tema yang sama, membandingkan, menganalisis, menyintesis, mereka menjadi sebuah ide yang baru. Kemampuan ini semestinya dimiliki seorang sarjana karena menulis skripsi berdasarkan studi kepustakaan sangat memerlukan keterampilan membaca level ini.

Puncaknya, Adler mengajak pembaca untuk terus menerus meningkatkan kemampuan membaca mereka dengan merekomendasikan sejumlah judul buku yang “layak” dibaca, dan memaparkan manfaat membaca bagi pertumbuhan otak.

Pendidikan “liberal arts”
Sesungguhnya Adler menyusun buku ini di dalam kerangka pendidikan liberal arts yang tidak lagi menjadi warna utama dalam pendidikan, seperti pada beberapa abad lampau. Ini adalah pendidikan generalis, yaitu menguasai kecakapan intelektual dasar agar dapat memahami dan mendalamisenua bidang ilmu.

Pada abad pertengahan seorang sarjana atau baccalaureate menguasai tiga kemampuan liberal arts yang disebut trivium, yaitu gramatika, logika dan retorika, dan empat kemampuan berikutnya yang disebut quadrivium, yaitu aritmatika, musik, geometri, dan astronomi.

Pendidikan saat itu belum menjadi spesialis seperti sekarang. Spesialisai memberikan kemajuan cepat yang bisa kita nikmati, tetapi juga membuat kita kehilangan kemanusiaan, yang bisa dicapai dengan menjadi seorang generalis.

Adler adalah pembelajar mandiri. Ia menjalani pendidikan klasik secara otodidak, setelah drop-out dari sekolah menengah. Ia kuliah di Universitas Columbia sampai akhirnya dianugerahi gelar doctor filsafat, lalu mengajar filsafat di Universitas Chicago. Bersama dengan Robert M Hutchins mereka menjadi pilar liberal arts modern.

Mereka membuat proyek Great Books of Western Civilizations yang merangkum karya-karya litertur, sains, social sains dan filsafat yang paling berpengaruh dalam peradaban Barat, serta mengompilasinya sehingga bisa diakses oleh pembaca awam. Sesudah membacanya, seseorang diharapkan terlibat dalam Great Conversation, urun rembuk dalam perkembangan peradaban dunia.

Buku ini adalah gerbang studi mandiri seumur hidup bagi siapa pun yang ingin mendalami bidang apa saja: sastra, filsafat, sejarah, ilmu alam, ilmu social, matematika, dan lain-lain. Studi seperti ini bisa dijalani oleh siapa saja, yang berniat dan mau berusaha. Darisinilah diharapkan muncul kelas menengah terdidik, yang menjadi pilar dari sebuah Negara demokrasi yang kokoh.

Mungkin, itulah sebabnya Jaques Barzun, seorang budayawan, ilmuan dan pendidik besar Amerika menyebut buku ini “wajib dibaca bagi aiapa pun yang peduli masa depan budaya bangsanya”. Gus Dur menyebut buku ini “sebuah contoh terbaik karya kreatif… yang memampukan kita memahami masalah secara berimbang”. ONI SURYAMA, Cak Tarno Institut

JANGAN BUNUH OBAMA!


Author : Hermawan Aksan, Publisher : Mizan Publishing
• Daftar pembunuhan dan usaha pembunuhan Presiden AS
• Sejarah kekerasan dan rasisme dalam politik AS
• Pembunuhan tokoh-tokoh politik kulit hitam: Martin Luther King, Jr. dan Malcolm X
• Ancaman terhadap tokoh-tokoh kulit hitam yang mencalonkan diri sebagai presiden
Pemilihan Presiden AS 2008 berpeluang menjadi tonggak sejarah. Itu karena kemunculan Barack Obama sebagai kandidat kuat presiden. Jika Obama—campuran kulit hitam-kulit putih—terpilih, untuk pertama kalinya Amerika Serikat memiliki presiden kulit berwarna. Terlebih, kekhawatiran akan upaya pembunuhannya telah muncul.

Namun, belum lagi dia terpilih, kekhawatiran akan upaya pembunuhannya telah muncul.

Banyak kelompok dengan terang-terangan menunjukkan permusuhannya terhadap Obama: kaum rasis kulit putih, lobi Israel, kelompok neokonservatif, dan Kristen sayap kanan. Nobelis Sastra Doris Lessing pun menyuarakan kekhawatirannya akan nyawa Obama. Pemerintah AS juga memberikan pengawalan agen khusus bagi Obama jauh lebih awal ketimbang calon-calon presiden lainnya.

Akankah kekhawatiran itu terbukti? Apa pun hasilnya, pemilihan presiden kali ini akan menjadi batu ujian bagi pluralisme dan toleransi di AS.

"Jika Obama jadi presiden, hidupnya tak akan bertahan lama."
-- Bernard Hopkins, mantan juara dunia tinju

"Jika Obama terpilih jadi presiden, mereka akan membunuhnya."
-- Doris Lessing, Nobelis Sastra 2007

Negosiasi Politik Menjelang Helat Demokrasi


Oleh Aminuddin Siregar

Kevin Kennedi, penulis buku Negosiasi Yang Eefektif, berpendapat bahwa, negosiasi
itu lebih merupakan suatu seni ketimbang ilmu pengetahuan. Sebab setiap orang dapat meningkatkan keterampilannya dalam melakukan negosiasi. Tidak saja untuk mendapatkan solusi, tetapi juga untuk menemukan hasil optimal yang disebut sebagai win-win
slution. Hasil menang-menang inilah yang juga diinginkan sebagai puncak tertinggi tujuan sebuah negosiasi apa pun saja.

Benar, bahwa negosiasi, banyak dipraktikkan di dunia usaha dan bisnis. Namun, kini negosiasi tidak saja dikenal dalam dunia bisnis, tetapi juga di dunia politik dan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu tidak mengherankan, jika menjelang helat akbar atau pesta demokrasi 2009 mendatang ini akan terjadi negosiasi politik. Suatau hal yang wajar saja terjadi.

Kalau negosiasi lebih menekankan pada seni, maka sama halnya ketika seseoarang menekuni seni, misalnya seni lukis, seni musik, atau seni tari. Di mana seseorang dituntut agar memiliki daya kreatif dan kemampuan berekspresi. Termasuk penguasaan komunikasi politik. Karena memlalui komuikasi politik itulah warna kepolitikan kian nampak jelas.

Selain itu, seorang negosiator juga memiliki kemampuan menggunakan imajinasi. Ia adalah orang yang boleh dikatakan seorang creator. Apakah itu untuk keperluan politik ataupun bisnis. Umumnya mereka juga adalah orang yang cekatan terampil menggunakan bahasa tubuh. Maksudnya mereka tidak saja menggunakan otak kiri, tetapi juga memanfaatkan untuk masuk dari kanan.

Sehingga, seni bernegosiasi yang ditampilkan tidak terlihat kacau-balau, sumbang, dan semacamnya. Tetapi nampak mulus, rapid an teratur, ritmis, santun dan amat lugas. Keluwesan seperti inilah juga menjadikan politik sebagai seni dari segala yang mungkin. Dalam kaitan itu pula politik nampak kian berirama, dan ketukan tempo yang mengundang hasrat berpolitik.

Sayangnya hasrat itu seringkali diarahkan pada hasrat tertinggi, yakni berkuasa. Kalau ini yang terjadi, maka irama itu menjadi tidak lagi enak didengar. Orang kemudian menaksir-naksir dan membuat sejumlah asumsi dan kalkulasi politik. Akibatnya bisa macam-macam, dan banyak hal terlupakan, seperti lupa kepada kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

Begitu juga halnya ketika seseorang melakukan negosiasi politik. Biasanya menjelang helat demokrasi, seperti pemilu 2009 mendatang ini, akan hadir negosiator-negosiator politik, sekurangnya untuk membentuk koalisi. Bila tidak dikatakan untuk meraih sebanyak mungkin suara. Tanpa peduli dengan apa yang telah dijanjikan kepada setiap konstituwen dan rakyat pada umumnya.

Dalam konteks itu negosiator telah mengalihkan model kepolitikan, yang seringkali tidak lagi disenangi orang. Padahal ketika negosiasi politik dilakukan, unsur kreasi politiklah yang perlu dinampakkan dan semua janji dan program politik partai dilaksanakan secara konsisten dan penuh komitmen yang mengikat rakyat.

Tentu saja kita percaya kepada politisi mana pun mengetahui hal itu. Mereka juga orang yang sangat jeli melihat peluang politik untuk bisa tampil. Para pemain politik juga adalah orang yang sangat mampu berempati. Buktinya, mereka tidak saja piawai merangkul lawan politik tetapi juga kompeten untuk berkoalisi secara baik dan benar, hingga mendapat sanjungan dari sana sini.

Namun, tidak sedikit kita jumpai, kalau menjelang pemilu seperti sekarang ini orang tiba-tiba saja jadi negosiator, dan punya kemampuan bernegosiasi. Baik yang secara alami tumbuh maupun lahir dari pengalaman, maupun dimunculkan lewat kaderisasi melalui proses panjang dan waktu cukup lama, kemudian pengalaman itu berkembang dan tumbuh dalam diri seseorang sebagai politisi.

Karena itu keterampilan bernegosiasi bisa lebih berhasil. Kesuksesan itu akhirnya membawa seseorang pada pemahaman dan pengetahuan politik lebih mendalam. Apabila pemahaman politik seseorang terlebih dahulu dikuasai, maka besar kemungkinan dapat menerapkannya, sejalan dengan aturan main yang telah disepakati bersama.

Bahwa, kesepakatan antara dua pihak yang akan bernegosiasi perlu dibangun, sembari melihat kesungguhan dan pengorbanan yang diberikan oleh rakyat banyak untuk mendukung dengan sepenuh hati mereka. Dalam konteks kepentingan rakyat inilah sebenarnya para negosiator politik bersepakat membuat komitmen untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Kedua belah pihak bersepakat mematuhinya segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan untuk memajukan rakyat dan meningkatkan kesejahteraannya. Karena mereke inilah nantinya yang akan mencadi pemimpin politik dan menjadi wakil mereka di hamper semua siatuasi politik. Itu artinya mereka tidak hanya bicara diparlemen, tetapi juga bicara kepada rakyat.

Untuk menciptakan negosiasi politik yang tepat diperlukan persiapan, karena persiapan ini merupakan kunci sukses dalam bernegosiasi. Persiapan itu antara lain ialah mengetahui sebanyak mungkin tentang lapa yang dibutuhkan rakyat. Termasuk yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa yang bernama nation state, yakni negara bangsa.

Dengan demikian partai politik yang bernegosiasi dapat dilihat oleh masyarakat politik sebagai partai politik berkarakter. Partai politik yang demikian kemungkinan besar menjadi sangat diminati dan mendapat dukungan sepenuhnya dari rakyat. Meskipun tentu saja tidak mungkin untuk menyamakan masing-masing ideology partai, yang berbeda satu dengan lainnya.

Namun pengetahuan terhadap karakteristik konstituen sangat diperlukan oleh setiap partai. Termasuk mengetahui bagaimana tingkah laku massa pendukung agar tidak menimbulkan persoalan dikemudian hari.. Dalam kaitan inilah peran negosiator politik menjadi sangat fungsional dalam menumbuhkan demokrasi. Selebihnya. Wallahu’alam

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Politik dan Kemasyarakatan
Bekerja Pada Pusdiklat Regional Depdagri Bukittinggi

Arah Demokrasi Harus Diubah

Sumber : Harian Kompas, Sabtu, 9 Agustus 2008 | 01:01 WIB
Jakarta, Kompas - Demokratisasi yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir ini harus diubah arahnya. Jika tidak, proses demokrasi yang memakan banyak biaya seperti saat ini semakin membebani rakyat.
”Kita menyaksikan betapa penyelenggaraan pilkada memakan banyak biaya. Seperti pilkada di Jawa Timur, berapa besar anggaran yang dikeluarkan oleh anggaran negara. Belum lagi dana yang disediakan oleh masyarakat dan peserta pilkada,” ujar Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali, Kamis (8/8).
Menurut dia, dana politik yang menghabiskan miliaran bahkan bisa mencapai triliunan rupiah itu akan sangat bermanfaat jika langsung dipergunakan untuk usaha yang langsung bisa memberikan kesejahteraan rakyat.
”Problem lain dari demokrasi yang sudah dijalankan adalah betapa bangsa Indonesia seperti kehilangan nilai budayanya. Seolah-olah tak ada lagi rasa saling menghormati, yang tersisa hanya mau menang sendiri,” ujarnya.
Yang lebih menyedihkan, menurut Suryadharma, hilangnya nilai ini sudah merambah di kalangan calon intelektual.
”Kalangan mahasiswa seperti tidak lagi memegang norma kesopanan, mereka memaki dan mencaci semaunya. Yang lebih buruk lagi sering kali proses demokrasi menghasilkan tindakan destruktif,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal PPP Irgan Chairul Mahfiz menilai, proses demokratisasi yang baru menekankan kelembagaan demokrasi ini memang harus disempurnakan. ”Masih banyak kelemahan, namun itu semua proses. Artinya, bangsa Indonesia, jika serius, pasti akan bisa membangun Indonesia dengan sistem demokrasi yang lebih baik,” ujarnya. (MAM)